Peran Kaum Pesantren dalam Membentuk NKRI


Prolog

Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang menerangkan tentang sejarah (kisah-kisah), hampir 1/3 al-Qur’an mengandung tentang kisah-kisah, mulai dari penciptaan Nabi Adam AS, sampai Nabi Muhammad Saw; mulai dari kisah orang-orang shaleh sampai orang-orang durhaka kepada Allah Swt dan utusan-utusan Nya; dampak positif sampai dampak negatif dari perbuatan kedua makhluq tersebut, sampai kepada balasan yang menimpa kepada keduanya, baik itu nikmat maupun adzab yang Allah Swt berikan. Untuk apa itu semua Allah Swt khabarkan kepada kita semua? Mari kita renungkan salah satu firman-Nya:

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf: 111)

Demikianlah Allah Swt memaparkan kisah-kisah tersebut sebagai ibrah bagi kita semua, bila kisah orang durhaka yang telah Allah Swt azab, maka kita ambil pelajaran jangan sampai kita melakukan hal yang sama yang telah dilakukan oleh mereka, sebutlah perbuatan kaum Nabi Luth yang diazab Allah karena melakukan liwath (homoseksual). Dan bila kisah orang-orang yang shaleh, maka kita ambil pelajaran pula untuk ditiru (uswah), sebutlah kisah Luqman al-Hakim yang menasihati anaknya kepada ketuhidan dan lain sebagainya.

Begitu pula dalam hadis, Rasulullah Saw tidak sedikit memberikan pelajaran kepada para sahabat dengan menukil orang-orang yang terdahulu. Oleh sebab itu, kita sebagai kaum muslimin tidak boleh menghiraukan sejarah, karena sejarah akan terulang kembali, hanya pelaku dan zaman yang berbeda. Dengan begitu kita dianjurkan untuk mempelajari sejarah, agar kita tidak terperosok kedalam lubang yang sama dua kali. Tidak sedikit para pendahulu kita yang memberikan andil dalam hal sejarah untuk sebuah peradaban yang lebih maju pada masa depan, sebut saja Ath-Thabari, Ibn Hisyam, Ibn Khaldun, Ibn Katsir dan lain sebagainya.

Pesantren Melahirkan Mujahid, Mujtahid dan Mujadid

Dalam penulisan sejarah seringkali sejarawan terjebak kedalam subjektifitas, tergantung ideology yang ia anut atau ada kepentingan dibalik penulisan sejarah tersebut. Begitupula dalam penulisan sejarah tergantung siapa penguasa, bila penguasa seorang kolonialis maka ia akan menyudutkan yang dijajahnya, seperti yang pernah dilakukan oleh Snouck Hurgronje terhadap sejarah Indonesia sehingga ia menuliskan secara tidak Islami (deislamisasi sejarah Indonesia), seperti halnya ia menyebutkan Islam masuk[1] ke Indonesia pada abad ke-13 M yaitu ketika Gujarat memasuki Kerajaan Samudera Pasai dan ini di amini oleh bangsa Indonesia, padahal disini harus dibedakan antara masuk dan perkembangan, yaitu masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-7 M/ abad I H, yakni masa-masa awal Nabi Saw Dakwah. Adapun Samudera Pasai merupakan masa perkembangan, sama halnya dengan asumsi bangsa Indonesia bahwa wali Sanga merupakan awal dari penyebaran Islam ditanah Jawa, padahal itu merupakan dari masa perkembangan Islam yakni ketika masa politik Islam/Kesultanan berdiri, hampir ada 40 Kesultanan di Indonesia saat itu.

Dan bahwa Wali Sanga digambarkan sebagai belum/tidak mengenal syari’at Islam, seperti halnya digambarkan mereka menganut ajaran-ajaran Hindu-Budha, seperti bertapa, tanpa shalat-shalat, dan itu merupakan dari pencitraan yang dilakukan oleh Kolonial Belanda, guna melenyapkan ajaran Islam yang penuh semangat dalam memerangi penjajahan, maka disini para ulama mengobarkan jihad bersama santri dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Begitu pula ada adagium bahwa sejarah milik penguasa, artinya bahwa ketika suatu rezim berkuasa maka sejarah harus sesuai dengan keinginan penguasa, seperti halnya yang dilakukan oleh rezim Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba). Khusus mengenai sejarah, mulai dari tingkat SD sampai SMA murid-murid sekolah disuguhi pelajaran sejarah yang sesuai keinginan penguasa dan mengerdilkan arti dan perjuangan kaum Pesantren, seolah-olah Ulama dan santri tidak mempunyai peranan dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Namun setelah sekian lama bangsa Indonesia didoktrin dan dibungkam dengan represifnya rezim Orba, maka kaum Muslimin mulai menggeliat mencari jati dirinya yang hilang ditelan sejarah dan menguak kembali sejarahnya sendiri yang terkubur dalam-dalam, maka saat ini bermunculan sejarawan-sejarawan muslim yang mengungkap tentang gigih dan semangatnya kaum Pesantren dalam melawan penjajah Belanda, sebut saja Ahmad Mansur Suryanegara denga “Api Sejarah”nya, Tiar Anwar Bachtiar, dkk dengan “Sejarah Nasional Indonesia Perspektif Baru” yang diperuntukan bagi pembelajaran di tingkat SMA, dan lain sebagainya.

Dalam websitenya Kemenag, Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan, sejarah telah mencatat bahwa Ulama dan kaum santri telah memberi sumbangan nyata dan berjasa besar dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).[2]Lebih jauh lagi Ahmad Mansyur Suryanegara (2009: 138)[3] menyebutkan bahwa Pesantren[4] sebagai kancah penjenang calon pemimpin.Pemimpin yang berkemampuan sebagai pembangkit kesadaran cinta pada tanah air, bangsa, dan agama serta kemerdekaan.Kesadaran ini dalam sejarah Indonesia disebut kesadaran nasional.Oleh karena itu, tidak heran jika kehadiran pesantren berfungsi sebagai tempat pengaderan pemimpin bangsa.

Dari penggodakan tersebut didalam Pesantren guna membangkitkan dan melahirkan Mujahid yang siap melawan setiap penindasan.Beliau melanjutkan bahwa, Penjajah Kerajaan protestan Belanda dan kolonial Belanda melakukan upaya nista, yakni mematahkan gerakan pendidikan yang berupaya mencerdaskan anak bangsa atau umat Islam yang diusahakan oleh Ulama.

Pemerintah kolonial Belanda hanya memberikan fasilitas pendidikan untuk kalangan anak bangsawan dan anak raja serta anak Eropa.Tidak lupa diberikan fasilitas secara diskriminatif untuk Cina dan Ambon. Pesantren dijadikan target serangannya, ruthless operation (operasi yang tidak kenal belas kasih). Kiai atau ulamanya digantung.Bangunan dan sarana pendidikan lainnya dibakar atau dirusakkan.Santri-santrinya ditangkap dan dibuang jauh dari wilayah asalnya.

Mengapa hanya dijawab oleh Ulama dan Santri?Hal ini terjadi akibat kedua Keradjaan Boeddha Sriwijaya dan Keradjaan Hindoe Madjapahit sudah tiada.Para sultan pada awalnya memimpin perlawanan bersenjata.Namun, sesudah dijerat dengan perjanjian Pendek (Korte Verklaring), para sultan tidak mungkin lagi mampu melancarkan perlawanan (hlm. 139).

Sehingga dengan perlawanan yang gigih dari kaum Pesantren terhadap kolonialisme dan imprealisme sehingga ulama dan santri mengantarkan kemerdekaan dan ikut dalam membentuk NKRI. Hal tersebut karena perjuangan Perdana Menteri Mohammad Natsir, sebagai intelektual, Ulama dan politikus, dari Partai Islam Indonesia Masjoemi, Persatoean Islam – Persis, Jong Islamieten Bond- JIB, Partai Islam Indonesia –PII, melalui Mosi Integral, berdirilah Negara Kesatuan Republik Indonesia, 17 Agustus 1950, Kamis Pahing, 2 Dzulhidjah 1369.Dengan demikian berakhir pula RepubliK Indonesia Serikat – RIS.

Pesantren dalam Hegemoni Negara

Ketika sejarah mencatat begitu gigihnya perjuangan kaum Pesantren dalam menggelorakan jihad kepada kolonial, maka sebagian kaum muslimin terlelap dan terlena dengan romantisme sejarah tersebut, tanpa ada aksi nyata untuk melakukan estafet perjuangan para pendahulunya tersebut. Mereka beranggapan bahwa Indonesia telah merdeka dan kaum Pesantren ada dalam hidup tentram dalam kedamaian atau ulama dan santrinya sibuk dengan kurikulum dan program sertifikasi guna mendapat danahibah dan ‘pengakuan’ dari Pemerintah?

Hal demikian merupakan hal lumrah dimana saat globalisasi melindas generasi ini, maka semangat ruh jihad dan  ijtihadnya tergantikan dengan materialism, hedonisme dan sekularisme, dalam bahasa hadis disebut “AL-WAHN” yakni Hubuddunya wakarohiyatul maut (cinta dunia dan takut mati), inilah penyebab yang diprediksi oleh Nabi Muhammad Saw mengenai umatnya yang diserang tiap penjuru oleh musuh-musuh Islam bak hidangan makanan yang siap disantap.

Maka selain problematika diinternal kaum Pesantren tersebut, ada problematika dari luar (eksternal) diantaranya adalah seiring arus globalisasi, maka untuk memuluskan kinerja pihak Barat menggilas setiap halangan dan rintangan yang dihadapinya, maka mereka membuat stigma teroris terhadap kaum muslimin yang hendak dan mencita-citakan syari’at Islam secara kaffah dimuka bumi.

Maka untuk memuluskan pekerjaannya tersebut ia “mengkader” orang dalam[5] untuk melakukannya, via Negara, Amerika Serikat dan sekutunya mendanai setiap Negara yang memerangi teroris versi Barat, tak terkecuali Indonesia.

Maka terkait problematika dari luar (Negara) yang dihadapi oleh kaum pesantren, penulis hadirkan beberapa kasus yang pernah terjadi, yang pertama, Pesantren identik dengan persemaian ‘teroris’,sehingga baru-baru ini BNPT mengajukan wacana sertifikasi ulama, terkait banyaknya ‘teroris’ yang berasal dari pesantren dan ulama, dulu pernah ada wacana cap jempol bagi santri; penangkapan ustadz sampai penembakan ditempat tanpa diadili terlebih dahulu karena diduga terlibat teroris dan lain sebagainya.Yang kedua,persoalan liberalisasi pendidikan Islam dengan memasukan ide ‘multikulturalisme’ tak terkecuali Pesantren-pesantren.Yang ketiga, ‘penyesuaian’ kurikulum dengan Depag bila menginginkan dana Bos dan lain sebagainya, sehingga ruh pesantren mulai luntur dari visi awalnya yakni sebagai khalifah fil ard (QS. 2:30) dan tafaquh fiddien (QS. 9 : 122).

Epilog                   

Berangkat dari sejarah kaum Pesantren dalam membentuk NKRI yang begitu militant dalam memperjuangkan kehormatan Islam dan menyatukan berbagai etnis di Indonesia sehingga membentuk NKRI, maka seyogyanya kaum pesantren saat ini meraih estafet perjuangan, karena penindasan selalu ada dalam setiap zaman; bahwa haq selalu ada lawannya yakni kebathilan.

Kaum pesantren dalam sejarahnya mesti dijadikan ibrah kaum pesantren saat ini, dimana hal tersebut menjadi ghirah tersendiri dalam membangkitkan kesadaran sebagai khaeru ummat, yang akan melindungi agama, bangsa dan Negara.Sehingga dengan begitu persoalan bangsa dan Negara[6] dapat diatasi berkat pengaderan dan pembibitan calon pemimpin dalam Pesantren.

(Disampaikan dalam halaqah 2 PD. Pemuda Persis Kota Bandung, Ahad 14 Oktober 2012 / 28 Dzulqo’dah 1433 H)


[1] Diantara penyebaran agama Islam adalah dengan pernikahan dan perniagaan bukan dengan pedang yang selalu ditulis oleh orientalis, maka tak ayal ‘Sam Bacile’ pun terdoktrin (terhinggap penyakit Islamphobia) sehingga membuat film Innoncent of Muslim dan sejumlah media Barat yang membuat kartun penghinaan terhadap Nabi Saw.

[3] Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah (Bandung: Salamadani Pustaka Semesta)                  .

[4]  Penggunaan istilah Pesantren oleh Persatoean Islam, menurut Ahmad Mansyur Suryanegara memberikan pengertian bahwaPesantren bukanlah sistem pendidikan Hindu, melainkan benar-benar sistem pendidikan yang meniru sistem pendidikan Islam di Timur Tengah yang di-Indonesia-kan.Persatoen Islam sangat teliti, sebagai gerakan purifikasi Islam, menolak semua yang bermula dari istilah Hindu.Oleh karena itu tidak mungkin pesantren berasal dari sistem pendidikan Hindu.Apabila memang benar berasal dari ajaran atau sistem pendidikan Hindu, mengapa di Bali tidak terdapat pesantren Hindu Bali?

Ini berbeda dengan pendapat Nurcholish Madjid, 1997, dalam Bilik-bilik Pesantren, sebuah Potret Perjalanan.Nurcholish menjelaskan bahwa pesantren sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Buddha sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada itu. (hlm. 481-482)

[5]  Seperti politik Belanda Devide et impera, politik adu domba, maka mereka melakukan pendekatan dengan putera mahkota yang lain untuk meruntuhkan kekuasaanyang sah, sehingga ketika mereka menang  dan Belanda berkuasa penuh karena sultannya adalah sebagai boneka semata. Dan atau ‘menyuap’ Boepati/ Hulubalang untuk menghalau gerakan jihad kaum Pesantren dengan tanam paksanya, sehingga diharapkan santri tidak lagi belajar pada ulama karena disibukkan dengan tanam paksa tersebut, sehingga kelaparan, penyakit dan kebodohan menghinggap dalam diri santri sehingga jiwa juangnya hilang.

Atau seperti Sneevliet yang melakukan “blok dalam” terhadap Syarikat Islam (SI) sehingga ia berhasil mengader Alimin, Muso dan Tan Malaka menjadi SI merah yang selanjutnya berganti dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

[6]  Diantara persoalan yang kini dihadapi bangsa dan Negara Indonesia adalah perilaku korup yang ditampilkan oleh para pemangku jabatan dan masalah tawuran yang sudah meluas dari tingkat SMA sampai tingkat penegak hukum

Tinggalkan komentar