Asal-Usul Pesantren


Pesantren Persatuan Islam 1-2 Pajagalan Bandung

Pendahuluan

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Ia merupakan wadah pembibitan calon ulama, sebuah institusi pendidikan Islam yang sangat berpengaruh bagi sosio masyarakat Indonesia. Banyak para ulama yang lahir dari pesantren, dan ulama tersebut menyebarkan ajaran Islam dengan cara berdakwah di masyarakat luas. Bahkan para ulama yang terdidik di pesantren tersebut, banyak yang mendirikan lagi pesantren di kampungnya sendiri, setelah sekian tahun belajar di pesantren induk.

Namun seiring waktu berjalan, banyak penelitian terhadap pesantren ini, diantaranya darimana asal mula pesantren? Apakah murni dari hasil peradaban dan dakwah kaum muslimin atau sebagai ‘renovasi’ dari institusi agama lain yang pernah ada sebelumnya?

Peneliti pun bukan hanya dari kaum muslimin (baca: sejarawan muslim), namun juga ada dari kaum orientalis yang concern terhadap penelitian pendidikan Islam. Sebagian ada yang mengatakan bahwa pesantren berasal dari rahim Islam itu sendiri, sebagian lagi mengatakan bahwa pesantren mengadopsi sistem pendidikan agama Hindu.

Pembahasan

Pesantren merupakan lembaga pengaderan calon Ulama dan pemimpin bangsa, hal tersebut diungkapkan oleh sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara (2009: 138),[1] ia menyebutkan bahwa Pesantren sebagai kancah penjenang calon pemimpin. Pemimpin yang berkemampuan sebagai pembangkit kesadaran cinta pada tanah air, bangsa, dan agama serta kemerdekaan. Kesadaran ini dalam sejarah Indonesia disebut kesadaran nasional. Oleh karena itu, tidak heran jika kehadiran pesantren berfungsi sebagai tempat pengaderan pemimpin bangsa.

Begitu hebatnya peran pesantren dalam kehidupan dimasyarakat bahkan dalam tataran kenegaraan, ia semacam lumbung yang besar untuk pembibitan calon ulama dan pemimpin bangsa, bahkan pada era kolonial Belanda, pesantren mampu menandingi pendidikan sekular Belanda. Dengan realita tersebut maka tidak aneh bila pesantren tidak luput dari penelitian para sejarawan, baik dalam maupun luar negeri (baca: orientalis).

Asal-Usul Pesantren

Berbicara tentang pesantren, maka ada dua pendapat yang dominan tentang asal-usul pesantren. Pertama, pesantren merupakan pengambilalihan dari sistem pesantren yang didirikan orang-orang Hindu di Nusantara. Kedua, pesantren berakar pada tradisi Islam, yaitu tradisi tariqat. Dua pendapat tersebut penyusun ungkapkan berikut ini:

Pendapat pertama

Pendapat pertama, yakni pesantren merupakan pengambilalihan dari sistem pesantren yang didirikan orang-orang Hindu adalah seorang orientalis-Katholik berkebangsaan Belanda, Karel A. Steenbrink. Menurut Karel Steenbrink (1991)[2] yang mengutip dari Soegarda Purbakawatja[3], menyatakan bahwa pendidikan pondok pesantren jika dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India dan dari masyarakat Hindu. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah digunakan untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dipulau Jawa, sistem tersebut kemudian diambil alih oleh Islam.

Pendapat Karel A. Steenbrink tersebut merupakan disertasinya yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku. Sudah ada juga edisi yang berbahasa Indonesia, judulnya adalah “Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern”. Penelitian dan pengamatan ini dilakukan di beberapa pesantren di Sumatera dan Jawa.

Buku edisi Indonesia terdiri dari empat bab. Sedangkan yang edisi Belanda berjumlah lima bab. Jadi ada satu bab yang sengaja tidak diterjemahkan. Ada beberapa alasan  yang disampaikan oleh Karel A. Steenbrink di bab pendahuluan, mengapa kemudian bab tersebut tidak diterjemahkan. Berikut kutipan pernyataannya:

“Dalam edisi ini hanya satu bab dilewatkan, yaitu bab penutup dari disertasi asli. Karena disertasi ini ditulis untuk fakultas teologi di Universitas Katolik Nijmegen, maka tidak diangaap cukup, kalau hanya diberikan uraian mengenai perubahan yang terjadi dalam Islam di Indonesia, tetapi mestinya dibandingkan dengan perkembangan dalam agama Kristen atau sekurang-kurangnya harus digabungkan dengan pemikiran Kristen juga.”[4]

Di dalam lembaran lain ia menyatakan, “Diskusi yang diberikan dalam Bab penutup dari edisi Belanda itu bersifat sangat teoritis. Hal ini juga dibuktikan dari kenyataan, bahwa bab itu bisa ditinggalkan saja tanpa mengubah isi dari bagian yang diterjemahkan disini.”[5]

Dua ungkapan ini sedikit mengusik konsentrasi penyusun saat akan memulai bacaan. Dalam asumsi penyusun ada ketidakfairan dalam penerbitan edisi Indonesia ini. Mengapa harus ada bagian yang tidak diterbitkan, walaupun menurutnya tidak akan mempengaruhi isi bagian yang lain. Karena menurut hemat penyusun ia selaku peneliti harus menyadari bahwa yang diteliti adalah umat Islam yang sangat sensitif terhadap wacana keagamaan. Sangat mungkin rasa curiga itu muncul, apalagi bila berbicara masalah teologi atau aqidah. Nah untuk menghindari hal tersebut alangkah lebih baik bila bab yang belum ada dalam edisi Bahasa Indonesia  tersebut diterjemahkan.

Ada asumsi bahwa Karel A. Steenbrink membawa misi missionaris, mungkin Steenbrink termasuk salah seorang yang tidak terlalu jujur, karena ia menulis disertasi untuk kepentingan missionaris. Steenbrink sengaja tidak menerjemahkan bab tersebut ke dalam bahasa Indonesia agar dapat menyembunyikan misi missionarisnya. Dalam edisi Belanda buku itu disebarkan secara utuh sedangkan di Indonesia ada bagian yang tidak di terjemahkan.[6]

Dalam hal lain, penyusun melihat dari hasil penelitiannya terdapat kecenderungan untuk menggambarkan keunggulan Barat (Belanda) terhadap Timur (Indonesia), terutama masalah pendidikan. Memang perlu diakui bahwa pada awal abad 20 negara-negara Barat masih menguasai dunia dan sekarang pun masih demikian. Tetapi tidak kemudian pendidikan di negara Timur tidak baik. Ada beberapa hal yang Negara Barat unggul atas Negara Timur, akan tetapi negara Timur juga unggul atas negara Barat dalam beberapa hal.

Di samping itu perlu disadari bahwa Steenbrink tidak meneliti Islam (agama) akan tetapi masyarakat muslim (pesantren), sehingga ia tidak melakukan pendekatan ushulul fiqh, tafsir, ataupun balghah akan tetapi ia menggunakan antropologi, sosiologi, dan historis sebagai pendekatan.

Selain Karel A. Steenbrink, hal senada juga dengan pendapat Nurcholish Madjid (1997)[7]. Nurcholish[8] menjelaskan bahwa pesantren sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Buddha sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada itu.

 Pendapat kedua

Pendapat yang kedua, pesantren berakar pada tradisi Islam. Bahwa pesantren didirikan pertama kali oleh Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, seperti yang diungkapkan dalam buku Konsep Pendidikan Formal Islam, yang merupakan disertasi Dedeng Rosyidin[9] (2009: 159),[10] beliau mengutip Wahjoetomo, istilah pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan ajaran Islam. Pengembangan Islam di Tanah Air (khususnya di Jawa) dimulai dan dibawa oleh Wali Songo, maka model pesantren di pulau Jawa juga mulai berdiri dan berkembang bersamaan dengan zaman Wali Songo. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pondok pesantren yang pertama didirikan adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi. Ini karena Syekh Maulana Malik Ibrahim- yang wafat pada 12 Rabi’ul Awal 822 H bertepatan dengan 8 April 1419 M dan dikenal juga sebagai Sunan Gresik adalah orang yang pertama dari sembilan wali yang terkenal dalam penyebaran Islam di Jawa.

Riwayat Hidup Maulana Malik Ibrahim (W. 882 H/1419 M)

Menurut Shalahuddin Hamid (2003: 125)[11] Maulana Malik Ibrahim disebut juga dengan nama lain yaitu Maulana Maghribi, ada juga yang menyebutkannya Jumadil Kubro, jika ditilik dari nama tersebut besar kemungkinan ia keturunan Marokko, beliau datang dari Kasyan, bangsa Arab keturunan Rasulullah, yang datang ke Jawa sebagai penyebar Agama Islam. Hamka (1981) mencatatat bahwa Sayid Muhammad bin Abdurrahman bin Syahab mengemukakan bukti-bukti bahwa silsilahnya bersambung dengan bangsa Sayid dari Hadramaut. Solihin Salam (1960) menyatakan bahwa bukti utama asal-usulnya adalah History of Java karya Sir Thomas Stamford Raffles.

Secara arkeologis Ambary (2001:70) meyakini ia berasal dari Persia yang kemudian menetap di Gresik. Terbukti dari nisannya dan huruf kufi yang tertulis di nisan tersebut, serta pola hiasan pahatnya sama dengan beberapa makam yang berada di Pasai, tetapi diidentifikasi bahannya telah diimport dari Gujarat, Cambay. Huruf Kufi merupakan kaligrafi Arab yang berkembang di Persia, asal katanya adalah Kufah yang berarti nama kota di Irak. Dalam kasus ini menunjukkan bukti bahwa Maulana Malik Ibrahim bukan pribumi Jawa atau Nusantara, ia adalah seorang guru agama dari luar, dari Gujarat, Persia atau bahkan dari dunia Arab, yang tinggal dan kawin dengan orang setempat. Hal inilah yang memperkuat dugaan bahwa Islam berkembang dari pedagang yang datang dari gujarat. Saifuddin Zuhri (1979:263) menyebut angka 1399 M sebagai kedatangan Maulana Malik Ibrahim ke tanah Jawa. Angka tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa dakwah Islam telah berkembang pesat di Demak.

Maulana Malik Ibrahim Pelopor Pesantren

Dakwah yang dimulai oleh Maulana Malik Ibrahim tentu bukan sekali jadi. Dari empat sumber itu dapat dianalisa bahwa Maulana Malik Ibrahim adalah orang pertama yang berdakwah Islam di tanah Jawa, atau sebagaimana ditemukan oleh Ambary (2001) bahwa makam Maulana Malik Ibrahim berada dekat dengan makam yang jauh lebih tua yaitu makam Fatimah binti Maimun (w. 475 H/1082). Hal tersebut memungkinkan sebuah kesimpulan bahwa Maulana Malik Ibrahim tiba di tanah Jawa telah terbentuk sebuah perkampungan muslim di Leran Gresik dan semakin berkembang di zaman Maulana Malik Ibrahim.

Dan dapat dipelajari bahwa penyebaran Islam di tanah Jawa berlangsung secara bersamaan dengan munculnya Malaka sebagai pusat perdagangan dunia. Maulana Malik Ibrahim adalah pedagang muslim di Natal, bermazhab Maliki, pada tahun 1412. Karena susahnya menyiarkan agama Islam dirintangi oleh orang-orang Syiah ia pindah ke Gresik. Di Gresik Jawa Timur ia memulai dakwahnya dengan kelemah-lembutan, ia tidak memaksakan ajaran Islam ajaran Islam tetapi menampakkan keluhuran dan keberanian ajaran tersebut. Ia tidak menolak secara spontan terhadap kepercayaan yang dipeluk oleh orang-orang Jawa akan tetapi ia masuk dan bergerak bersama mereka. Karena keramahan dan ketinggian akhlaqnya maka Maulana Malik Ibrahim menjadi tempat bertanya dan menjadi guru yang secara cepat menyebar ke daerah Gresik.

Di tempat itulah akhirnya beliau mendiriikan pesantren. Beliau mengajarkan Islam kepada murid-muridnya, mereka tidak hanya datang dari Gresik tapi juga dari tempat lain. Dari catatan sejarah, pesantren itulah yang pertama kali didirikan di tanah Jawa. Keberhasilannya di tanah Jawa telah menghidupkan pesantren-pesantren yang melahirkan para da’i dan muballigh yang berpengaruh ke seluruh nusantara. Saat itu, dari Enslikopedia Islam tercatat sejumlah 6.631 pesantren (1994) mulai dari Aceh sampai Maluku. Pengaruh pesantren jelas sangat besar di Indonesia. Disinilah peran Maulana Malik Ibrahim di Nusantara.

Selain Dedeng Rosyidin dan Shalahudin Hamid, penggunaan pesantren bukan dari Hindu tapi dari peradaban Islam Indonesia sendiri, diungkapkan pula oleh sejarawan muslim Ahmad Mansyur Suryanegara dalam bukunya yang terkenal Api Sejarah, dalam penggunaan istilah Pesantren oleh Persatoean Islam, menurut Ahmad Mansyur Suryanegara memberikan pengertian bahwa Pesantren bukanlah sistem pendidikan Hindu, melainkan benar-benar sistem pendidikan yang meniru sistem pendidikan Islam di Timur Tengah yang di-Indonesia-kan. Persatoen Islam sangat teliti, sebagai gerakan purifikasi Islam, menolak semua yang bermula dari istilah Hindu. Oleh karena itu tidak mungkin pesantren berasal dari sistem pendidikan Hindu. Apabila memang benar berasal dari ajaran atau sistem pendidikan Hindu, mengapa di Bali tidak terdapat pesantren Hindu Bali?

Lebih lanjut Ahmad Mansyur Suryanegara menyebutkan dalam Footnote no. 26 (hlm. 153) Pesantren sebagai pengindonesiaan sistem pendidikan diambil modelnya dari Madarasah Qurtubah atau Kordoba dari Khilafah Umayah, dan madrasah Nizhamiyah dari khilafah abbasiyah dan madrasah Al-Azhar dari Khilafah Fathimiyah.

 

Kesimpulan

 

Setelah pamaparan diatas tentang pesantren,[12] maka ada dua pendapat yang dominan tentang asal-usul pesantren. Pertama, pesantren berakar pada tradisi Islam, yaitu tradisi tariqat. Kedua, pesantren merupakan pengambilalihan dari sistem pesantren yang didirikan orang-orang Hindu di Nusantara. Ada dua pengaruh yang saling tarik menarik bila kita analisa dua pendapat ini.

Persoalan paling mendasar adalah sejak kapan waktu yang kita pakai untuk analisa tersebut. Dalam kajian makro apakah pesantren merupakan tradisi yang didominasi agama tertentu. Bila kita tarik garis lurus dengan mengambil fakta sejarah. Maka dapat disimpulkan, justru di tangan Islamlah pesantren melekat di hati rakyat dan berkembang begitu pesat ke seluruh Nusantara. Sebaliknya, kita tidak melihat atau mendengar pesantren Hindu atau Budha, sebagai legitimasi terminologinya. Dari fakta tersebut, pantaslah bila akhirnya orang menjuluki Maulana Malik Ibrahim sebagai bapak pesantren di tanah Jawa. Tahun wafatnya tertulis 12 Rabiul Awal tahun 882 Hijriah / 9 April 1419 M.

 

 Daftar Pustaka

 

Hamid, Shalahuddin, dkk. 2003. 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, Jakarta: INTIMEDIA Cipta Nusantara.

Madjid, Nurcholish. 1997, Bilik-bilik Pesantren, sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina

,

Rosyidin, Dedeng. 2009. Konsep Pendidikan Formal Islam, Bandung: Pustaka Nadwah.

Steenbrink, Karel A. 1991, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. Jakarta: LP3ES.

Internet :

https://alimtiaz.wordpress.com/2012/05/11/pendidikan-pesantren-di-indonesia-sebuah-tinjauan-historis-menurut-kerel-a-steenbrink/

http://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid

http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2009/11/museum-dan-perpustakaan-prof-dr-r.html

[1] Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009, hlm. 138

[2] Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. Jakarta: LP3ES, 1991.

[3] Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja selalu kritis terhadap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan. Ia termasuk penganut aliran theosofi, ilmu Jawa, kebatinan dan ohiba. Ini diungkapkan dalam http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2009/11/museum-dan-perpustakaan-prof-dr-r.html diunduh pada tanggal 4 Januari 2014.

[4] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, hal. xvii.

[5] ibid, hal. xix.

[6]https://alimtiaz.wordpress.com/2012/05/11/pendidikan-pesantren-di-indonesia-sebuah-tinjauan-historis-menurut-kerel-a-steenbrink/ diunduh pada tanggal 21 Desember 2014

[7] Nurcholish Madjid, 1997, dalam Bilik-bilik Pesantren, sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, hlm. 481-482

[8] Nurcholis Madjid yang populer dipanggil Cak Nur, pada mulanya dia seorang Islamis, Ketua HMI dua periode (1966-1971), namun kemudian hari setelah ‘perjalanannya’ ke Amerika Serikat, ia berpandangan sekular-liberal, gagasannya yang kontroversi adalah “Islam Yes, Partai Islam No?”. http://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid di unduh pada tanggal 9 Januari 2005.

[9] Dedeng Rosyidin adalah pakar Pendidikan Islam dari jam’iyyah Persatuan Islam (Persis)

[10] Dedeng Rosyidin, Konsep Pendidikan Formal Islam, Bandung: Pustaka Nadwah, 2009. hlm 159, buku tersebut merupakan disertasinya di UIN SGD Bandung

[11] Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, Jakarta: INTIMEDIA Cipta Nusantara. 2003, Tokoh no. 18, hlm. 125-127

[12] penyusun sepakat dengan pendapat yang pesantren berakar pada tradisi Islam, penyusun tampilkan dari analisa Shalahudin Hamid dkk

Tinggalkan komentar