Periode Baru dalam Da’wah


masjid-al-haram-7

Fathul Mekkah

 

  1. Perdamaian Hudaibiyyah

Perjanjian Hudaibiyah terjadi pada bulan Dzulqa’dah, penghujung tahun ke-6 Hijriah. Penyebab terjadinya perjanjian ini berawal ketika Rasulullah Saw mengumumkan kepada kaum muslimin akan berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah umrah. Ikut bersama beliau sejumlah sahabat, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Jumlah mereka sekitar 1.400 orang.

Di tengah perjalanan, Rasulullah Saw berihram dengan niat umrah. Sejumlah binatang kurban beliau giring untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa beliau memang tidak mengerahkan pasukan perang, melainkan semata-mata untuk ziarah ke Baitullah, menunaikan ibadah umrah.

Orang Quraisy mengutus Suhail bin Amr sebagai wakil mereka untuk membuat perjanjian perdamaian antara mereka dan kaum Muslimin. Penulis perjanjian tersebut adalah Ali Ra. Sekalipun perjanjian Hudaibiyah ini merugikan pihak Muslimin, namun ada hikmah dibalik perjanjian tersebut. Diantara ‘kerugian’ ini adalah sebagai berikut: kata pembuka Bismillahirrahamanirrahim diganti dengan Bismikallhumma, kalimat perjanjian yang dibuat oleh Muhammad Rasul Allah diganti dengan Muhammad bin Abdullah.

Selanjutnya Nabi Saw bersabda kepadanya, “Kalian (orang-orang musyrik) harus membiarkan kami melaksanakan thawaf di Baitullah.” Suhail berkata, “Demi Allah, supaya orang-orang tidak mengatakan bahwa kami mendapatkan tekanan dari kalian, tetapi engkau boleh thawaf pada tahun depan dan kaum Muslimin tidak boleh membawa senjata kecuali pedang di dalam sarungnya.” Selanjutnya Suhail berkata, “Jika ada seorang dari kami yang akan datang kepada engkau untuk masuk Islam, hendaklah engkau mengembalikan pada kami.”

Perjanjian perdamaian dengan syarat-syarat tersebut berlaku selama 10 tahun. Selama itu tidak boleh dilanggar dan dikhianati. Tidak lama kemudian turunlah surat al-Fath kepada Rasulullah Saw.

Diantara hikmah yang tampak secara jelas bahwa perjanjian Hudaibiyah ini merupakan “muqaddimah” bagi Fath Makkah (Penaklukan Mekah). Bahkan, Imam Ibnu Al-Qayyim menyatakan, perjanjian Hudaibiyah merupakan pintu gerbang sekaligus kunci menuju penaklukan kota Mekkah.

  1. Perang Khaibar

Di penghujung bulan Muharram tahun ke-7 Hijriah, Rasulullah Saw berangkat bersama pasukan Muslim menuju Khaibar. Khaibar adalah sebuah kota besar yang memiliki banyak benteng dan lahan pertanian, terletak sekitar 100 mil di sebelah utara Madinah, atau ke arah Syam (Syria) dari kota Madinah.

Dalam perang ini, Rasulullah Saw berangkat bersama 1.400 orang prajurit yang terdiri dari pasukan infanteri dan kavaleri. Ibnu Sa’ad berkata, “Rasulullah Saw kemudian menyampaikan nasihat kepada para sahabat dan membagikan beberapa panji kepada mereka. Akhirnya, pertempuran berkecamuk antara Rasulullah Saw dan penduduk Khaibar yang bertahan di benteng-benteng mereka. Benteng demi benteng berhasil ditaklukkan oleh kaum Muslimin kecuali dua benteng : benteng al-Wathit dan benteng Sulalim. Rasulullah Saw mengepung kedua benteng ini selama 10 malam.”

Ibrah

Semua peperangan yang diikuti Rasulullah Saw selalu dilakukan sebagai tindakan defensif pihak Islam. Perang tersebut harus dilakukan umat Islam demi membela eksistensi mereka, selain tentu untuk menangkal serangan musuh.

Perang Khaibar adalah perang pertama yang digagas Rasulullah Saw untuk menyerang kaum Yahudi di kawan Khaibar, tanpa didahului serangan pihak Yahudi terhadap kaum muslimin.

Satu-satunya alasan dikobarkannya perang ini adalah untuk menyeru kaum Yahudi agar mereka bersedia memeluk Islam. Disamping itu, tentu saja perang itu juga dilakukan untuk menyerang kaum Yahudi yang kerap membangkang, keras kepala dalam menerima kebenaran, dan dengki, meskipun dakwah secara damai telah dilakukan sekian lama oleh Rasulullah Saw bersama kaum muslimin.

  1. Ekspedisi Militer dan Surat Rasulullah Saw kepada Para Raja

Setelah peristiwa Khaibar berlalu, Rasulullah Saw mulai mengirimkan beberapa ekspedisi militer (sariyyah) kepada suku-suku Badui yang tersebar di Semenanjung Arab. Mereka mengemban tugas menyeru mereka agar bersedia memeluk Islam. Jika suku-suku itu melawan, para utusan Muslim dipersilahkan melakukan penyerangan.

Rangkaian ekspedisi militer ini dikirimkan di sepanjang tahun ke-9 Hijriah. Mereka mengemban 10 sariyyah, dipimpin oleh beberapa sahabat.

Di tahun yang sama, Rasulullah Saw juga mengirimkan beberapa surat kepada para raja dan pemimpin dunia; untuk mengajak mereka memeluk Islam dan meninggalkan agama lama yang sesat.

Masing-masing utusan dibekali sepucuk surat untuk disampaikan kepada raja atau penguasa yang akan mereka datangi. Pada saat itulah beberapa orang sahabat berkata kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, sesungguhnya raja-raja tidak sudi membaca surat yang mereka terima kecuali dibubui segel” maka saat itu juga Rasulullah Saw meminta dibuatkan sebuah cincin segel yang terbuat dari perak dengan larik tulisan yang ditatah pada permukaannya. Tulisan itu “Muhammad Rasul Allah”

Pada bulan Muharram tahun k1-9 Hijriah, berangkatlah dalam satu hari sebanyak 6 utusan. Masing-masing utusan menguasai bahasa negeri dan kaum yang hendak didatanginya.

Utusan yang pertama dikirim oleh Rasulullah Saw adalah Amr bin Umaiyyah adh-Dhamri. Ia dikirim menemui Najasyi. Najasyi menerima surat Nabi Saw kemudian meletakkannya di hadapannya dan ia turun dari tempat tidurnya lalu ia duduk di atas tanah dengan penuh tawadhu’ dan akhirnya masuk Islam.

Rasulullah Saw juga mengutus Dahyah bin Khalifah al-Kalbi kepada Heraclius, Raja Romawi. Surat Rasulullah Saw ini disampaikan oleh Dahyah kepada Gubernur Bashra untuk selanjutnya diteruskan kepada Heraclius (isi surat ini bisa dibaca dalam Riwayat Bukhari dan Musim).

Rasulullah Saw mengutus Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi kepada Kisra untuk menyampaikan surat dan mengajaknya masuk Islam. Abdullah bin Hudzafah berkata. “Surat itu kemudian dirobek-robeknya.” Setelah mendengar berita ini, Rasulullah Saw berdo’a, “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya.”

Harits bin Umair al-Azdi diutus kepada penguasa Romawi di Bashra, Syurahbil bin Amr al-Ghassani. Tidak ada utusan Rasulullah Saw yang dibunuh selain al-Harits bin Umair.

Selain itu, Rasulullah Saw juga mengutus beberapa utusan yang lain kepada para pemimpin Arab diberbagai wilayah. Di antara mereka ada yang menolak, tetapi sebagian besar menerimanya dan masuk Islam.

Di tahun itu pula, Rasulullah Saw menerima banyak utusan yang berdatangan dari berbagai daerah guna menyatakan keislaman mereka. Di antara pemimpin Arab yang masuk Islam pada masa ini ialah Khalid bin Walid dan Amr bin Ash.

Ibrah

Ketika perjanjian Hudaibiyah disepakati pihak musyrikin dan kaum muslimin di Madinah, umat Islam tidak lagi mengkhawatirkan gangguan orang-orang Quraisy. Rasulullah saw mendapatkan kesempatan untuk memasuki fase baru dalam penerapan syariat Islam yang menjadi tugas beliau untuk disampaikan kepada umat manusia. Fase itulah yang disebut fase penyerangan terhadap orang-orang yang telah mendengar dakwah Islam, tetapi tetap membangkang dan enggan beriman, bahkan mengobarkan api kedengkian dan permusuhan.

Pada fase inilah Rasulullah Saw dapat menyerukan dakwah yang menjadi tanggung jawabnya dengan sempurna. Fase inilah yang menjadikan Rasulullah Saw sebagai sumber hukum syariat bagi umat Islam sepanjang masa sampai Hari Kiamat. Fase inilah yang oleh para pelaku ghazw a-lfikr selalu menjadi incaran untuk dihapuskan dari pandangan dan ingatan umat Islam. Mereka berusaha meyakinkan muslimin bahwa bentuk jihad yang diperintahkan Islam, sebenarnya dibangun di atas prinsip pertahanan atau untuk mengusir musuh.

Sama sekali bukanlah rahasia jika salah satu ketakutan paling besar yang membuat musuh-musuh Islam terus memanifulasi sejarah Islam. Mereka khawatir ruh jihad fi sabilillah kembali merasuki pribadi muslim, yang akan disusul dengan tumbuh suburnya keimanan dalam hati mereka.

  1. Perang Mu’tah

Peperangan ini terjadi pada bulan Jumadil ‘Ula tahun ke-8 Hijriah. Mu’tah adalah sebuah desa yang terletak di perbatasan Syam. Desa ini sekarang bernama Kirk.

Yang menjadi sebab terjadinya peperangan ini ialah terbunuhnya al-Harits bin Umair al-Azdi, utusan Rasulullah Saw kepada Raja Bashra. Setelah Rasulullah Saw menyerukan kaum muslimin agar berangkat menuju Syam, dengan serta merta berkumpullah sebanyak 3.000 tentara kaum Muslimin yang siap berangkat ke Mu’tah.

Ketika pasukan bergerak meninggalkan Madinah, pihak musuh rupanya mendengar hal itu. Alhasil, pasukan Romawipun bersiap-siap menyambut kedatangan mereka. Pada saat itu, kaisar Heraklius menyiapkan lebih dari 100.000 prajurit Romawi. Di pihak lain, Syurahbil ibn Amr, gubernur Bashra, juga menyiapkan 100.000 prajurit yang berasal dari kabilah-kabilah Lakham, Judzam, Qain, dan Bahra’.

Pasukan Muslim pun bertemu pasukan musuh di dekat Karak. Pada saat itu, pasukan musuh nyaris tidak mungkin ditandingi pasukan Muslim, baik dari segi perlengkapan perang, persenjataan, maupun pasukan logistik (dalam perang Mu’tah, pasukan Muslim yang berjumlah 3.000 orang harus menghadapi pasukan Romawi yang berjumlah 200.000). Sebagaimana diperintahkan Rasulullah Saw, panji-panji Islam dipegang oleh Zaid ibn Haritsah Radiyallahu ‘Anhu.

Pertempuran dimulai. Beberapa saat kemudian, Zaid ibn Haritsah Radiyallahu ‘Anhu. Gugur ketika sebilah tombak mengunjam tubuhnya. Setelah kesyahidan Zaid, panji-panji pasukan Muslim langsung di usung oleh Ja’far ibn Abi Thalib Radiyallahu ‘Anhu.

Ja’far ibn Abi Thalib Radiyallahu ‘Anhu. Bertempur dengan gagah berani. Ja’far Radiyallahu ‘Anhu terus bertempur. Akhirnya ia juga syahid di tangan seorang prajurit Romawi yang mengayunkan pedang ke tubuhnya sampai terbelah jadi dua. Tak kurang dai 50 luka mencabik-cabik sekujur tubuh Ja’far Radiyallahu ‘Anhu.

Setelah Ja’far gugur, panji-panji pasukan dibawa oleh Abdullah Ibn Rawahah Radiyallahu ‘Anhu. Sahabat Rasulullah Saw yang lihai bertempur dan piawai bersyair. Ia bertempur mati-matian sampai akhirnya panglima pasukan Islam yang ketiga ini pun syahid.

Setelah Abdullah ibn Rawahan Radiyallahu ‘Anhu gugur, para prajurit Muslim sepakat menunjuk Khalid ibn Walid Radiyallahu ‘Anhu sebagai panglima yang baru. Di tangan Khalid inilah pasukan Islam yang hanya berjumlah 3.000 orang dan harus menghadapi 200.000 pasukan Romawi secara mengejutkan berhasil memukul mundur pasukan kafir Mu’tah. Mengingat jumlah dan persenjataan mereka sama sekali tidak sebanding dengan pihak musuh, akhirnya Khalid memutuskan untuk menarik pasukan Islam ke Madinah.

Ibrah

Jumlah pasukan musyrikin dan Romawi tidak kurang dari 50 kali lipat jumlah pasukan muslimin. Perbandingan jumlah yang tidak seimbang ini, jika kita renungkan, menjadikan pasukan Muslimin berada dihadapan mobilisasi pasukan secara besar-besaran dari Romawi dan sekutunya (musyrikin Arab). Laksana parit kecil menghadapi lautan besar yang bergelombang. Dari segi peralatan dan senjata perang pun, pasukan musyrikin jauh lebih besar dan canggih, sedangkan kaum Muslimin justru tengah menghadapi kekurangan dan paceklik.

Anehnya, semua ini—padahal mereka berangkat tanpa Nabi Saw dalam sebuah sariyah—tidak menggetarkan kaum Muslimin, bahkan semua kekuatan tersebut sama sekali tidak di jadikan masalah berat. Padahal kalau mereka melihat pasukan yang mengepungnya, niscaya mereka akan seperti sebuah batu kecil di tengah padang pasir.

Kekaguman kita akan semakin bertambah besar manakala kita melihat kaum Muslimin dengan tegar dan berani menghadapi peperangan yang tidak seimbang ini. Amir (panglima) perang mereka yang pertama, kedua, dan ketiga gugur, tetapi mereka tetapa tegar menerjang pintu syahadah sehingga tanpa adanya sebab yang terlihat dan akhirnya pasukan muslimin berhasil memukul mundur pasukan musyrikin dan membunuh sejumlah besar tentara mereka.

Akan tetapi, semua kekaguman dan keheranan ini akan segera sirna manakala kita mengingat apa yang dapat dilakukan oleh keimanan kepada Allah, sikap tawakal semata-mata kepada-Nya, dan yakin akan janji-Nya.

  1. Fath Makkah

Fat-hu Makkah ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke-8 Hijriah. Sebabnya adalah karena orang-orang dari bani Bakar meminta bantuan personel dan senjata kepada para pemimpin Quraisy guna menyerang orang-orang Khuza’ah (Khuza’ah telah menyatakan diri berpihak kepada kaum Muslimin sesuai Perjanjian Hudaibiyah). Mereka membunuh 20 orang lelaki dari Khuza’ah. dengan begitu Quraisy telah melanggar perjanjian Hudaibiyah. Dengan meninggalnya sejumlah dari Khuza’ah, Nabi pun bertekad untuk menjadikan peristiwa ini sebagai momentum meraih kemenangan (Fathul Mekkah).

Quraisy menyesali tindakannya kemudian mengutus Abu Sufyan kepada Rasulullah Saw guna meminta perpanjangan dan perbaruan “gencatan senjata”. Tetapi Nabi tidak menjawab sama sekali. Akhirnya, Abu Sufyan kembali ke Mekkah tanpa membawa hasil apa-apa. Sementara itu, Rasulullah Saw telah melakukan persiapan secara diam-diam, setelah itu Nabi Saw mengumpulkan pasukan.

Rasulullah Saw menunjuk Kaltsum bin Husain sebagai wakilnya di Madinah. Beliau berangkat pada hari rabu tanggal 10 Ramadhan setelah Asar. Jumlah kaum Muslimin mencapai 10.000 orang.

Quraisy mengutus Abu Sufyan, Hakim bin Hizzam dan Badil bin Warqa’ untuk mencari berita tentang sikap Rasulullah Saw. Ketiga orang ini diketahui oleh pengawal Rasulullah Saw kemudian ditangkap dan dibawa menghadap Rasulullah Saw. Saat itulah, Abu Sufyan menyatakan Islam.

Abbas Ra berkata kepada Abu Sufyan “Selamatkanlah kaummu!” Abu Sufyan kemudian pergi ke Mekkah sebelum Rasulullah Saw memasukinya. Dengan suara keras, Abu Sufyan berteriak, “Wahai orang-orang Quraisy, Muhammad datang kepada kalian membawa pasukan yang tidak mungkin dapat kalian atasi. Karena itu, barangsiapa yang masuk ke rumah Abu sufyan maka ia selamat!”, barang siapa yang menutup pintu rumahnya maka ia selamat! Dan barangsiapa yang masuk ke dalam Masjidil Haram maka ia selamat.”

Nabi Saw memerintahkan para panglima pasukannya agar tidak memerangi kecuali orang yang memerangi mereka (Hr. Bukhari) dan 6 orang lelaki serta 4 orang wanita. Nabi Saw memerintahkan agar membunuh mereka di mana saja mereka di dapatkan. Mereka itu adalah Ikrimah bin Abu Jahal, Habbar bin al-Aswad, Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah, Muqis bin Dhahabah al-Laitsi, Huwairits bin Nuqaid, Abdullah bin Hilal, Hindun binti Utbah, Sarah (mantan budak Amr bin Hisyam), Fartanaj, dan Qarinah (kedua wanita terakhir ini di masa dahulu selalu menyanyikan lagu-lagu penghinaan kepada Nabi Saw).

Nabi Saw memasuki Mekkah dari dataran tinggi “Kida” dan memerintahkan Khalid bin Walid bersama pasukannya agar memasuki Mekkah dari dataran rendah Kida.

Nabi Saw memasuki Mekkah langsung menuju Ka’bah. Disekitar Ka’bah masih terdapat 360 berhala. Nabi kemudian menghancurkannya satu persatu.

Rasulullah Saw memerintahkan Bilal ke atas Ka’bah mengumandangkan adzan untuk shalat. Orang-orang kemudian berduyun-duyun masuk ke dalam agama Allah.

Menurut riwayat Bukhari dan Ibnu Abbas, Nabi Saw berada di Mekkah selama 19 hari dengan meng-qashar shalat.

  1. Perang Hunain

Peperangan ini terjadi pada bulan Syawwal tahun ke-8 Hijriah. Penyebabnya para pemimpin suku Hawazin dan Tsaqif merasa tidak senang melihat kemenangan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dan kaum Muslimin yang telah berhasil menaklukkan kota Makkah dan bangsa Quraisy. Di bawah pimpinan Malik bin Auf, salah seorang tokoh Hawazin, mereka menghimpun suatu kekuatan besar di Authas (tempat antara Makkah dan Tha’if) dengan mengerahkan seluruh harta kekayaan, wanita, dan anak-anak mereka. Hal ini mereka lakukan agar mereka tidak lari meninggalkan medan pertempuran demi mempertahankan keluarga, harta kekayaan dan anak. Menghadapi kekuatan ini, Rasulullah Saw pada tanggal 6 Syawwal bergerak menuju mereka bersama 12.000 kaum Muslimin, 10.000 dari penduduk Madinah, dan 2.000 dari penduduk Makkah.

Setelah mengetahui keberangkatan Rasulullah Saw, Malik bin Auf segera menempatkan pasukannya di lembah Hunain dan menyebarkan mereka di seluruh lorong persembunyian lembah tersebut guna melancarkan serangan mendadak dan serempak kepada Rasulullah Saw dan para sahabatnya.

Kaum muslimin sampai di lembah Hunain kemudian menuruni lembah tersebut di pagi hari sekali ketika masih gelap. Akan tetapi, mereka dikejutkan oleh serangan mendadak pasukan musyrikin yang keluar menyongsong mereka dari berbagai lorong dan tempat persembunyian lembah sehingga kuda-kuda mereka berlarian dan orang-orang pun mundur tunggang langgang.

Sementara itu, Nabi Saw minggir ke arah kanan kemudian memanggil dengan suara keras, “Kemarilah, wahai hamba-hamba Allah! Sesungguhnya, aku seorang Nabi yang tidak berdusta. Aku adalah anak Abdul Muthalib.”

Malik bin Auf bersama pendukungnya lari sampai ke Thaif untuk berlindung di perbentengan Thaif dan meninggalkan rampasan yang sangat banyak.

Rasulullah Saw memerintahkan agar barang-barang rampasan disimpan di Ji’ranah dan dijaga oleh Mas’ud bin Amr al-Ghiffari. Sementara itu, Rasulullah Saw bersama para sahabatnya pergi ke Thaif mengepung mereka, tetapi orang-orang Tsaqif melakukan perlawanan dengan menggempur kaum Muslimin dibenteng-benteng mereka sehingga mengakibatkan jatuhnya beberapa korban. Rasulullah Saw melakukan pengepungan terhadap Thaif selama 10 hari lebih atau menurut riwayat lain selama 20 hari lebih.

Setelah Rasulullah Saw bergerak untuk kembali, beliau bersabda, ”Katakanlah! Kami kembali, bertobat, beribadah, dan bertasbih kepada Rabb kami.” Sebagian sahabat berkata kepadanya, “Wahai Rasululah, berdoa’alah untuk kehancuran Tsaqif!” Nabi Saw kemudian mengucapkan do’a, “Ya Allah, tunjukilah Tsaqif dan datangkanlah mereka.”

Saya berkata,”Allah telah memberikan hidayah kepada Tsaqif tidak lama setelah itu. Utusan mereka datang menemui Rasulullah Saw di Madinah guna menyatakan keislaman mereka.”

Ibrah

Perang Hunain merupakan pelajaran penting tentang aqidah Islamiyah dan Hukum sebab akibat yang menyempurnakan pelajaran serupa di Perang Badar.

Jika Perang Badar telah menetapkan kepada kaum Muslimin bahwa jumlah sedikit tidak membahayakan mereka sama sekali menghadapi musuh mereka yang berjumlah jauh lebih banyak manakala mereka bersabar dan bertaqwa. Peperangan Hunain ini menegaskan kepada kaum Muslimin bahwa jumlah yang banyak juga tidak dapat memberikan manfa’at apabila mereka tidak sabar dan bertaqwa.

Jumlah kaum Muslimin di Perang Badar lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah mereka pada peperangan-peperangan lainnya. Kendatipun demikian, jumlah yang sedikit itu tidak membahayakan mereka sama sekali karena kualitas keislaman, kematangan keimanan, dan kemurnian wala’ mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Sementara itu, jumlah kaum Muslimin di Perang Hunain lebih besar dibandingkan jumlah mereka pada peperangan-peperangan sebelumnya. Kendatipun demikian, jumlah yang besar itu tidak dapat memberikan manfaat sama sekali karena keimanan dan nilai-nilai keislaman belum merasuk dan menghunjam ke dalam hati sebagian besar di antara mereka.

Massa yang banyak itu telah bergabung secara fisik kepada pasukan Rasulullah Saw, sedangkan hati dan jiwa mereka dikuasai oleh kehidupan dunia. Karena itu, jumlah yang banyak secara fisik itu tidak memiliki pengaruh bagi kemenangan dan datangnya pertolongan Allah.

Karena itu, massa yang banyak itu lari tunggang langgang meninggalkan lembah Hunain tatkala mereka diserang secara mendadak oleh musuh. Bahkan mungkin bayangan ketakutan ini pada awalnya memengaruhi juga hati sebagian besar kaum Mukmin yang telah matang keimanannya.

Akan tetapi, tidak lama kemudian terdengar oleh kaum Anshar dan Muhajirin teriakan dan panggilan Rasulullah Saw kepada mereka sehingga mereka kembali berhimpun di sekitar Rasulullah Saw da berperang bersamanya. Jumlah mereka ini tidak lebih dari 200 orang.

Akan tetapi, dengan 200 orang tersebut, kemenangan datang kembali kepada kaum Muslimin dan ketenangan pun turun ke dalam hati mereka sehingga Allah mengalahkan musuh mereka setelah 12.000 orang berkualitas buih tidak berguna sama sekali dalam mengahadapi lawan. Allah menurunkan pelajaran penting ini di dalam Kitab-Nya yang mulia, QS. At-Taubah : 25-27)

  1. Perang Tabuk

Sebabnya karena kaum Muslimin mendapat berita dari para pedagang yang kembali dari negeri Syam bahwa orang-orang Romawi telah menghimpun kekuatan besar dengan dukungan orang-orang Arab Nasrani dari suku Lakham, Judzam, dan lainnya yang berada di bawah kekuasaan Romawi. Setelah pasukan perintis mereka sampai di Balqa’, Rasulullah Saw memobilisasi kaum Muslimin untuk menghadapi mereka. Thabrani meriwayatkan dari hadis Ibnu Husain bahwa jumlah tentara Romawi sebanyak 40.000 personel.

Peperangan ini berlangsung pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijrah di puncak musim panas dan ketika orang-orang menghadapi kehidupan yang sangat sulit. Pada saat yang sama, musim buah-buahan Madinah mulai dapat dipanen. Karena itu, Rasulullah Saw mengumumkan tempat yang akan mereka tuju, tidak sebagaimana biasanya dalam peperangan-peperangan lainnya.

Demikianlah perjalanan dalam peperangan ini sangat berat dirasakan oleh jiwa manusia. Ini merupakan ujian dan cobaan berat yang membedakan siapa yang di dalam hatinya ada nifaq dan siapa yang benar-benar beriman.

Orang-orang munafik berkata kepada sebagian yang lain, “janganlah kalian berperang di musim panas.” Sementara itu, sebagian yang lain (al-Jidd bin Qais) datang kepada Rasulullah Saw menyatakan, “Berilah izin kepadaku dan janganlah kamu menjerumuskan aku ke dalam fitnah. Demi Allah, kaumku tidak mengenal orang yang lebih mengagumi wanita selain aku. Aku khawatir tidak dapat bersabar melihat wanita berambut pirang.” Rasulullah Saw berpaling darinya dan memberikan izin kepadanya. Saat itu, Abdullah bin Ubay bin Salul telah berkemah di sebuah tempat di Madinah bersama kelompok pendukung dan sekutunya. Ketika Rasulullah Saw bergerak menuju Tabuk, ia (Abdullah bin Ubay) bersama rombongannya tidak bersedia berangkat bersama Nabi Saw.

Di antara ayat al-Qur’an yang diturunkan berkenaan dengan sikap orang-orang munafik ini adalah, (QS. At-Taubah /9: 81), (QS. At-Taubah /9: 49)

Sementara itu, kaum Muslimin datang kepada Rasulullah Saw dari setiap pelosok. Dalam menghadapi peperangan ini, Rasulullah Saw telah menghimbau orang-orang kaya agar menyumbangkan dana dan kendaraan yang mereka miliki sehingga banyak di antara mereka yang menyerahkan harta dan perlengkapan. Utsman menyerahkan 300 unta beserta pelana dan perbekalannya, disamping uang sebanyak 1.000 dinar yang diletakkannya di kamar Rasulullah sehingga Nabi Saw bersabda: “Tidak akan membahayakan Utsman apa yang dilakukan sesudahnya.”

Sementara itu, Abu Bakar Ra menyerahkan semua hartanya dan Umar Ra menyerahkan separuh dari hartanya. Turmudzi meriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari bapaknya, ia berkata, “Aku pernah mendengar Umar ra berkata, Rasulullah Saw memerintahkan kami bersedekah dan kebetulan waktu itu aku sedang mempunyai harta, lalu aku berucap, ‘Sekarang, aku akan mengalahkan Abu Bakar jika memang aku dapat mengalahkannya pada suatu hari.’ Aku kemudian datang kepada Rasulullah Saw membawa separuh dari hartaku. Nabi Saw bertanya kepadaku, ‘Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?’ ku jawab, ‘Sebanyak yang kuserahkan.’ Abu Bakar Ra kemudian datang membawa semua hartanya. Nabi Saw bertanya, ‘Wahai Abu Bakar, apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?’ jawab Abu Bakar, ‘Aku tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.’ Akhirnya, aku berkata, ‘Aku tidak dapat mengalahkannya (dalam perlombaan melaksanakan kebaikan) untuk selama-lamanya.”

Rasulullah Saw keluar bersama sekitar 30.000 personil dari kaum Muslimin. Di antara kaum Muslimin ada beberapa orang yang tidak ikut berperang bukan karena ragu dan bimbang, yaitu Ka’ab bin Malik, Murarah ibnur Rabi’, Hilal bin Umayyah, dan Abu Khaitsamah. Mereka ini, seperti dikatakan oleh Ibnu Ishaq, adalah orang-orang yang jujur yang tidak diragukan lagi keislaman mereka. Hanya Abu Khaitsamah yang kemudian menyusul Rasulullah Saw di Tabuk.

Sesampainya di Tabuk, mereka tidak menemukan pasukan Romawi dan tidak ada perlawanan. Yohanna, Gubernur Ailah, kemudian agar datang kepada Nabi Saw meminta diadakan perjanjian damai dengan kesiapan dari pihaknya untuk membayar jizyah. Demikian pula para penduduk Jarba’ dan Adzrah. Permintaan damai ini disetujui oleh Nabi Saw yang kemudian dituangkan dalam surat perjanjian.

Nabi saw tiba di Madinah pada bulan Ramadhan tahun itu juga. Dengan demikian, berarti Nabi Saw meninggalkan Madinah sekitar dua bulan.

Ibrah

Islam telah Berjaya di jazirah Arabia dan menguasai hati serta jiwa para penduduknya. Ini merupakan sesuatu yang senantiasa dikhawatirkan dan dicemaskan oleh orang-orang Nasrani Romawi sejak lama.

Orang-orang Romawi tidak memeluk agama Nasrani karena keimanan semata-mata. Mereka hanya menjadikan agama Nasrani sebagai media untuk menjajah bangsa-bangsa di wilayah ini. Karena itu, mereka mempermainkan agama Nasrani sesukanya, mengubah dan mencampuradukkan dengan paganisme mereka serta menambahkan beraneka kebatilan kepadanya.

Islam-agama yang diserukan oleh semua Rasul- datang untuk membebaskan manusia dari setiap kekuasaan selain kekuasaan Allah. Tidak ada kekuasaan dan hukum yang boleh dipaksakan kepada manusia selain kekuasaan dan hukum Allah.

Sebagai orang yang telah banyak mempelajari agama Nasrani, mereka adalah orang-orang yang paling menyadari akan bahaya dan ancama risalah terakhir (Islam) ini terhadap para tiran dan kesewang-wenangan para diktator.

Tidak heran jika agama Islam ini- setelah kuat di jazirah Arabia- merupakan sumber kecemasan dan kegelisahan bagi para thagut Romawi dan antek-antek mereka yang memeluk agama Nasrani sekedar untuk menguasai orang-orang lemah.

Karena itu, mereka mendengar berita Fat-hu Makkah dan kemenangan Islam di Jazirah Arabia dengan penuh ketakutan kemudian menghimpun semua kekuatan mereka, dari Syam sampai ke Hijaz, untuk menghadapi agama ini (Islam). Sebab, jika agama Islam tersebar luas, kekuasaan dan kediktatoran mereka akan tumbang.

Sesuai dengan kecemasan pihak Romawi ini, semestinya terjadi pertempuran dahsyat antara mereka dan kaum Muslimin. Akan tetapi, hikmah Allah menghendaki jihad kaum Muslimin dalam peperangan ini cukup dengan pengorbanan besar yang telah mereka kerahkan dan kesulitan fisik yang telah mereka alami di perjalanan pulang-pergi antara Madinah dan Tabuk. Perjalanan ini memang sangat menakjubkan, sarat dengan pengorbanan, penderitaan, dan kesulitan. Tidaklah jihad yang diperintahkan Allah itu berupa pengorbanan jiwa dan raga di jalan syariat Allah dan agama-Nya? Sesungguhnya, hal inilah yang dikehendaki Allah dari hamba-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari sangkaan yang tidak benar yang menuduh Allah membutuhkan pertolongan mereka untuk menghancurkan tipu daya orang-orang kafir atau memasukkan hidayah dan keimanan ke dalam hati orang-orang yang ingkar.

  1. Masjid Dhirar

Ibnu Katsir meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Urwah, Qatadah, dan lainnnya bahwa di Madinah ada seorang Rahib (pendeta) dari suku Khazraj bernama Abu Amir. Ia memeluk agama Nasrani di masa Jahiliah dan memiliki kedudukan penting di kalangan kabilah Khazraj. Ketika Rasulullah Saw datang ke Madinah kemudian kaum Muslimin berhimpun di sekitar beliau dan Islam pun telah menyebar luas, Abu Amir bangkit menunjukkan permusuhan kepada Rasulullah Saw. Ia pergi ke Makkah meminta dukungan orang-orang musyrik Quraisy untuk memerangi Rasulullah Saw, setelah melihat dakwah Rasulullah Saw semakin bertambah maju dan kuat, ia pun pergi menemui Heraclius, Raja Romawi, meminta bantuan untuk menghadapi Nabi Saw. Kepadanya, Heraclius menjanjikan apa yang diinginkannya kemudian ia pun tinggal di negeri Heraclius. Dari tempat “pengasingannya” ini ia menulis surat kepada orang-orang munafik Madinah yang isinya menjanjikan kepada mereka apa yang dijanjikan oleh Heraclius kepada dirinya dan memerintahkan mereka agar membangun sebuah markas tempat mereka berkumpul untuk merealisasikan rencana jahat yang tertuang di dalam surat-suratnya tersebut.

Mereka kemudian membangun sebuah masjid di dekat masjid Quba’. Masjid ini telah rampung mereka bangun sebelum Rasulullah Saw berangkat ke Tabuk. Mereka kemudian datang kepada Rasulullah Saw, meminta agar Rasulullah Saw sudi kiranya shalat di masjid mereka untuk dijadikan dalih dan bukti persetujuannya. Mereka mengemukakan bahwa masjid tersebut dibangun untuk orang-orang yang tidak dapat keluar di malam yang dingin. Akan tetapi, Allah melindungi beliau dari melaksanakan shalat di masjid mereka. Nabi saw menjawab, “Kami sekarang mau berangkat. Insya Allah, nanti setelah pulang.”

Sehari atau beberapa hari sebelum Rasulullah Saw tiba di Madinah dari perjalanan Tabuk. Jibril turun membawa berita tentang masjid Dhirar yang sengaja mereka bangun atas dasar kekafiran dan tujuan memecah belah jamaah kaum muslimin. Rasulullah Saw kemudian mengutus beberapa sahabatnya untuk menghancurkan masjid tersebut sebelum beliau datang ke Madinah. Berkenaan dengan masjid ni, turunlah firman Allah, (QS. At-Taubah [9]: 107-108)

Ibrah

Kisah masjid ini merupakan puncak makar dan tipu daya yang dilakukan oleh orang-orang munafik kepada Rasulullah Saw dan kaum Muslimin. Tindakan ini bukan semata-mata kemunafikan, melainkan merupakan konspirasi dan rencana jahat terhadap kaum Muslimin. Karena itu, Rasulullah Saw tidak membiarkan tindakan ini, tetapi mengambil sikap dan tindakan tegas yang didasarkan kepada wahyu dari Allah.

  1. Haji Wada’ (haji perpisahan)

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Jabir Ra, ia berkata bahwa selama Sembilan tahun tinggal di Madinah al-Munawwarah, Nabi Saw belum melaksanakan haji. Selanjutnya, pada tahun ke-10, beliau mengumumkan hendak melakukan ibadah haji. Setelah pengumuman itu, berduyun-duyunlah orang datang ke Madinah. Semuanya ingin mengikuti Rasulullah Saw dan mengamalkan ibadah haji sebagaimana amalan beliau.

Rasulullah Saw melaksanakan ibadah hajinya seraya mengajarkan manasik dan sunnah-sunnah haji kepada orang-orang yang menunaikan ibadah haji bersamanya. Pada hari Arafah, Rasulullah Saw menyampaikan khotbah umum di tengah-tengan kaum Muslimin yang sedang berkumpul di tempat wuquf.

Nabi Saw tetap tinggal di Arafah hingga terbenam matahari. Pada saat terbenam matahari itu, Nabi Saw beserta orang-orang yang menyertainya berangkat ke Mudzalifah. Beliau kemudian men-jama’ ta’khir shalat magrib dan isya’ di Mudzalifah. Pada malam itu, Nabi Saw bermalam di Mudzalifah kemudian sebelum terbit matahari, beliau berangkat ke Mina lalu melontar Jumratul Aqabah dengan 7 batu kecil seraya bertakbir di setiap lontaran. Setelah itu, beliau pergi ke tempat penyembelihan lalu menyembelih 63 binatang sembelihan (budnah). Beliau kemudian menyerahkan kepada Ali untuk menyembelih sisanya sampai genap 100 sembelihan. Setelah itu, beliau naik kendaraannya berangkat ke Ka’bah (ifadah) lalu shalat zhuhur di Makkah.

  1. Rasulullah saw wafat

Pengiriman Usamah bin Zaid ke Balqa’

Belum lama Rasulullah Saw sampai di Madinah sehingga beliau memerintahkan kaum Muslimin untuk bersiap-siap memerangi orang-orang Romawi. Rasulullah Saw memilih Usamah bin Zaid untuk memimpin peperangan ini. Usamah bin Zaid ketika itu berusia masih sangat muda (18-20 tahun). Ia diperintahkan oleh Rasulullah Saw agar pergi ke tempat dimana ayahnya, Zaid bin Haritsah terbunuh, di samping mendatangi perbatasan Balqa’ dan Darum di bumi Palestina. Keberangkatan Zaid ini bersamaan dengan permulaan sakit Rasulullah Saw yang kemudian disusul dengan kematian beliau.

Rasulullah dan Sakaratul Maut (QS. Az-Zumar [39]: 30)

Permulaan sakit ini terjadi pada akhir-akhir bulan Shafar tahun ke-11 hijriah.beliau wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun ke-11 hijriah.

Para perawi dan ahli ilmu sepakat bahwa nabi Saw wafat pada usia 63 tahun. 40 tahun di antaranya beliau jalani sebelum diangkat menjadi Rasul, 13 tahun berdakwah di Makkah, dan 10 tahun di Madinah setelah Hijrah.

Bukhari meriwayatkan dari Amr ibnul Harits, ia berkata, “Rasulullah Saw tidak meninggalkan satu pun dinar atau dirham atau budak lelaki ataupun budak perempuan selain dari baghalnya yang putih yang biasa ditungganginya dan senjata serta tanah yang sudah diikrarkan menjadi sedekah bagi ibnus Sabil.

Rasulullah Saw wafat dengan meninggalkan 9 istri, yaitu: Saudah, Aisyah, Hafshah, Ummu Habibah, Zainab binti Jahsy, Juwairiah, Shafiah, dan Maimunah.

Rasulullah mempunyai 3 anak laki-laki: al-Qasim yang dilahirkan sebelum kenabian dan meninggal pada usia 2 tahun, Abdullah yang juga sering dipanggil ath-Thayyib dan ath-tahir, dan Ibrahim yang dilahirkan di Madinah pada tahun 8 Hijriah dan meninggal pada tahun ke-10.

Anak perempuan beliau ada 4, Zainab, Fatimah, Rugayyah, dan Ummu Kaltsum. Ruqayyah wafat pada hari terjadinya Perang Badar di bulan Ramadhan tahun ke-9 Hijriah. Ummu Kultsum meninggal pada bulan Sya’ban tahun ke-9 Hijriah. Keduanya adalah istri Utsman bin Affan Ra.

(Disampaikan dalam Halaqah II (pasca Tafiq I) PD. Pemuda Persis Kota Bandung, 10 April 2016)

Tinggalkan komentar